Iklan

iklan

Pentingnya PRB di Sekolah

Monday, January 30, 2012 | 3:06:00 PM WIB Last Updated 2012-01-30T08:06:35Z
Asep Muhsin,Pengurus Karang Taruna Kab. Cianjur
Indonesia merupakan  negara yang memiliki lebih kurang  17.000 buah pulau dengan luas daratan 1.922.750 km2 dan luas perairan  3.257.483 km2 berdasarkan letak astronomisnya Indonesia terletak diantara 60LU-110LS dan 950BT – 1410BT yang dilalui oleh garis khatulistiwa, secara geologis Wilayah Indonesia  dilalui oleh dua jalur pegunungan muda dunia yaitu Pegunungan Mediterania di sebelah barat dan Pegunungan Sirkum Pasifik di sebelah timur. Adanya dua jalur pegunungan tersebut menyebabkan Indonesia banyak memiliki gunung api yang aktif dan rawan terjadinya Gempa Bumi.
Berdasarkan data  yang dikeluarkan oleh Badan  Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Resiko Bencana  (UN-ISDR) bahwa Indonesia  adalah negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia, selain itu Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki Rangking Pertama dalam ancaman bahaya Tsunami, tanah longsor dan gunung berapi, yang paling mengkhawatirkan adalah bencana tsunami yang memiliki risiko  tertinggi terhadap sekitar 5,4 juta orang seperti yang dilansir BBC indonesia.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), mencatat 83 persen wilayah Republik Indonesia adalah rawan bencana, dalam sepuluh tahun terakhir, ada lebih dari enam ribu bencana terjadi  di tanah air. Bencana gempa dan tsunami besar yang terakhir terjadi pada akhir 2004 di Aceh dan sebagian Sumatera Utara. Lebih dari 150.000 orang meninggal dunia. Tapi gempa bumi terjadi hampir di setiap tahun di Indonesia. Setelah gempa Aceh di akhir 2004, pada 2005 Pulau Nias dan sekitarnya juga dilanda gempa. Sekitar 1000 orang menjadi korban. Akhir Mei 2006, giliran Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah diporak porandakan gempa bumi. Korban meningggal mencapai 5.000 orang lebih disusul Gempa Tasik yang juga menelan korban dan kerugian harta benda.
Wilayah Indonesia dikepung oleh lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Pada saatnya tiba lempeng ini akan bergeser patah menimbulkan gempa bumi. Selanjutnya jika terjadi tumbukan antarlempeng tektonik dapat menghasilkan tsunami, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara.
Selain dikepung tiga lempeng tektonik dunia, Indonesia juga merupakan jalur  Cincin Api Pasifik, yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Cincin api Pasifik membentang diantara subduksi maupun pemisahan lempeng Pasifik dengan lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, lempeng Amerika Utara dan lempeng Nazca yang bertabrakan dengan lempeng Amerika Selatan. Ia membentang dari mulai pantai barat Amerika Selatan, berlanjut ke pantai barat Amerika Utara, melingkar ke Kanada, semenanjung Kamsatschka, Jepang, Indonesia, Selandia baru dan kepulauan di Pasifik Selatan. Indonesia memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240 buah, di mana hampir 70 di antaranya masih aktif. Zona kegempaan dan gunung api aktif Circum Pasifik amat terkenal, karena setiap gempa hebat atau tsunami dahsyat di kawasan itu, dipastikan menelan korban jiwa manusia amat banyak, terutama anak-anak yang juga memiliki potensi kerentanan yang cukup tinggi menjadi korban bencana.
Untuk mengetahui kapan gempa bumi akan terjadi merupakan pekerjaan yang sulit. Hal ini dikarenakan gempa dapat  terjadi secara tiba-tiba di manapun asalkan masih berada dalam zona kegempaan bumi. Maka dari itu yang masih mungkin dilakukan adalah melakukan sistem peringatan dini (early warning sytem) yang berfungsi sebagai “alarm” darurat jika sewaktu-waktu datang gempa secara tak terduga. Selain itu juga dilaksanaka usaha pengurangan risiko bencana yang melibatkan anak usia sekolah, sehingga pada situasi bencana anak-anak lebih banyak tahu apa yang harus dilakukan.
Sejarah mencatat bahwa korban terbanyak pada gempa bumi dan tsunami Aceh adalah perempuan dan anak-anak usia di bawah 15 tahun (Synthesis Report of the Tsunami Evaluation Coalition, 2006). Dalam konteks bencana sosial, Plan UK (2002) mencatat selama 1999-2000, kehidupan dari 77 juta anak dipengaruhi oleh konflik dan bencana; 115.000 anak di bawah 15 tahun meninggal dunia karena konflik dan bencana; jutaan anak menjadi tidak memiliki rumah, kehilangan orang yang dicintai, terluka,dan menderita trauma psikologis
Dalam Modul  Pelatihan Pengurangan resiko Bencana yang diterbitkan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), menyebutkan Bentuk kerentanan yang dapat terjadi pada anak-anak antara lain :
  1. Korban Jiwa lebih banyak terjadi pada anak-anak, karena kemampuan menyelematkan diri dan pengalaman menghadapi situasi darurat bencana minim.
  2. Tidak adanya sistem database terpilah khusus data anak-anak pada situasi emergency khususnya data anak korban, mengungsi, hilang, dan lain-lain. Sehingga sistem bantuan dan penanganan dilakukan secara general.
  3. Trauma psikologis berkepanjangan yang dialami anak-anak tanpa adanya satu penanganan yang baik.
  4. Child Trafficking anak-anak yang terpisah dari lingkungan  keluarga dan  anak-anak dari  keluarga yang hancur  setelah bencana  menjadi sasaran perekrutan untuk berbagai tujuan yang sifatnya eksploitatif.
  5. Anak-anak kehilangan akses pendidikan karena  karena hancurnya fasilitas pendidikan dan sumber  perekonomian  keluarga.
  6. Munculnya kasus gizi buruk dan sampai berujung pada kematian anak di pengungsian karena kekurangan bahan makanan dan tidak adanya sistem penanganan kesehatan yang memadai.
  7. Usaha pengurangan resiko bencana minim keterlibatan anak, sehingga pada situasi bencana anak-anak lebih banyak menjadi korban.
PENTINGNYA PENDIDIKAN PRB
Pengurangan Risiko Bencana adalah konsep dan praktik mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisa dan mengelola faKtor-faktor penyebab dari bencana  termasuk dengan dikuranginya paparan terhadap ancaman, penurunan kerentanan manusia dan property, pengelolaan lahan dan lingkungan yang bijaksana, serta meningkatkan  kesiapsiagaan terhadap kejadian yang merugikan.
Penyelenggaraan dapat digambarkan dalam siklus berikut ini.
Gambar Siklus
Sumber Gambar : Modul Pelatihan PUSKUR sc-drr.org
Berdasarkan hasil Konferensi Sedunia tentang Pengurangan Risiko Bencana yang diselenggarakan pada tanggal 18-22 Januari 2005 di Kobe, Hyogo,Jepang; dan dalam rangka mengadopsi Kerangka Kerja Aksi 2005-2015 dengan tema ‘Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas Terhadap Bencana’ memberikan suatu kesempatan untuk menggalakkan suatu pendekatan yang strategis dan sistematis dalam meredam kerentanan dan risiko terhadap bahaya. Konferensi tersebut menekankan perlunya mengidentifikasi cara-cara untuk membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana.
Pada bulan Januari 2005, lebih dari 4.000 perwakilan pemerintah, organisasi non-pemerintah, institusi akademik, dan sektor swasta berkumpul di Kobe, Jepang, pada World Conference on Disaster Reduction (WCDR) kesebelas. Konferensi tersebut mengakhiri perundingan-perundingan tentang Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005- 2015 : Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas terhadap Bencana (HFA). Kerangka Aksi ini diadopsi oleh 168 negara dan menetapkan tujuan yang jelas – secara substansiil mengurangi kerugian akibat bencana, baik korban jiwa maupun kerugian terhadap aset aset sosial, ekonomi, dan lingkungan suatu masyarakat dan negara dan merinci seperangkat prioritas untuk mencapai tujuan setidaknya pada tahun 2015.
Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha antara lain: (1) menggalakkan dimasukkannya pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana sebagai bagian yang relevan dalam kurikulum pendidikan di semua tingkat dan menggunakan jalur formal dan informal lainnya untuk menjangkau anak-anak muda dan anak-anak dengan informasi; menggalakkan integrasi pengurangan risiko bencana sebagai suatu elemen instrinsik dalam dekade 2005–2014 untuk Pendidikan bagi Pembangunan Berkelanjutan (United Nations Decade of Education for Sustainable Development); (2) menggalakkan pelaksanaan penjajagan risiko tingkat lokal dan program kesiapsiagaan terhadap bencana di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lanjutan; (3) menggalakkan pelaksanaan program dan aktivitas di sekolahsekolah untuk pembelajaran tentang bagaimana meminimalisir efek bahaya; (4) mengembangkan program pelatihan dan pembelajaran tentang pengurangan risiko bencana dengan sasaran sektor-sektor tertentu, misalnya: para perancang pembangunan, penyelenggara tanggap darurat, pejabat pemerintah tingkat lokal, dan sebagainya; (5) menggalakkan inisiatif pelatihan berbasis masyarakat dengan mempertimbangkan peran tenaga sukarelawan sebagaimana mestinya untuk meningkatkan kapasitas lokal dalam melakukan mitigasi dan menghadapi bencana; (6) memastikan kesetaraan akses kesempatan memperoleh pelatihan dan pendidikan bagi perempuan dan konstituen yang rentan; dan (7) menggalakkan pelatihan tentang sensitivitas gender dan budaya sebagai bagian tak terpisahkan dari  pendidikan dan pelatihan tentang pengurangan risiko bencana.
Sekolah dipercaya memiliki pengaruh langsung terhadap generasi muda, yaitu dalam menanamkan nilai-nilai budaya dan menyampaikan pengetahuan tradisional dan konvensional kepada generasi muda. Untuk melindungi anak-anak dari ancaman bencana alam diperlukan dua prioritas berbeda namun tidak bisa dipisahkan aksinya yaitu pendidikan untuk mengurangi risiko bencana dan keselamatan dan keamanan sekolah.
Sekolah juga harus mampu melindungi anak-anak dari suatu kejadian bencana alam. Investasi dalam memperkuat struktur gedung sekolah sebelum suatu bencana terjadi, akan mengurangi biaya/anggaran jangka panjang, melindungi generasi muda penerus bangsa, dan memastikan kelangsungan kegiatan belajar-mengajar setelah kejadian bencana. Pendidikan di sekolah
dasar dan menegah membantu anak-anak memainkan peranan penting dalam penyelamatan hidup dan perlindungan aset/milik masyarakat pada saat kejadian bencana. Menyelenggarakan pendidikan tentang risiko bencana ke dalam kurikulum sekolah sangat membantu dalam membangun kesadaran akan isu tersebut di lingkungan masyarakat.
Mengurangi risiko bencana dimulai dari sekolah. Seluruh komponen, dalam hal ini anak-anak sekolah, para guru, para pemimpin masyarakat, orangtua, maupun individu yang tertarik dengan pendidikan tentang risiko bencana dan keselamatan di sekolah, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, institusi lokal/regional/nasional/ internasional, sektor swasta dan publik untuk dapat berpartisipasi secara aktif. Keterlibatan media juga diperlukan untuk mendorong sebuah budaya ketahanan terhadap bencana dan keterlibatan komunitas yang kuat dalam rangka kampanye pendidikan publik secara terus-menerus dan dalam konsultasi publik di segenap lapisan masyarakat. Bencana?! Jika Siap Kita Selamat.
Padatnya kurikulum pendidikan nasional tidak boleh kita jadikan alasan untuk tidak melakukan kegiatan pengurangan risiko bencana di sekolah secara berkelanjutan. Pembelajaran tentang pengurangan risiko bencana di sekolah sekolah bisa dilaksanakan dengan mengintegrasikan materi pembelajaran pengurangan risiko bencana ke dalam (1) mata pelajaran pokok/paket, (2) muatan lokal, dan (3) ekstrakurikuler dan pengembangan diri. Atau secara khusus megembangkan dan menyelenggarakan kurikulum muatan lokal dan ektrakurikuler/pengembangan diri yang didedikasikan khusus untuk pendidikan pengurangan risiko bencana bisa kita sebut sebagai SEKOLAH SIAGA BENCANA.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pentingnya PRB di Sekolah

Trending Now

Iklan

iklan