Iklan

iklan

TUNTUTAN PROFESIONALITAS VERSUS KEBIASAAN GURU MENGAJAR

Friday, May 15, 2015 | 5:43:00 PM WIB Last Updated 2015-05-15T10:43:56Z
(Sebuah refleksi terhadap hasil supervisi kepada guru di beberapa SMK)

“Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”, demikian slogan yang sering diungkapkan sebagai penghargaan terhadap profesi guru.  Lalu, apakah semua guru layak menyandang gelar tersebut? Layak atau tidaknya gelar tersebut sudah barang tentu sangat  tergantung kepada profesionalitas guru yang bersangkutan.

Tugas guru memang berat, kalaupun tidak disebut begitu, paling tidak tugas guru itu tidak ringan. Mengapa begitu? Jawabannya, tugas guru meliputi aspek yang sangat luas dari perkembangan anak didik yang dididiknya. Guru tidak hanya bertugas untuk menyampaikan materi pelajaran, lalu setelah itu selesai. Guru bertanggung-jawab dalam mengawal perkembangan aspek fisik, mental dan spiritual para siswanya. Jika merujuk pada Undang-undang Sitem Pendidikan Nasional, tugas guru meliputi aspek upaya untuk mengawal berkembangnya potensi peserta didik dalam hal keimanan dan ketaqwaannya, kesehatannya, keilmuannya, kecerdasannya, kreatifitasnya, kemandiriannya, sikap demokratisnya serta tanggung-jawabnya.

Karena tugas dan predikatnya yang begitu berat, maka guru perlu memiliki profesionalitas yang tinggi. Yang penulis maksud dengan profesionalitas dalam hal ini adalah kemampuan guru dalam mengaktualisasikan keseluruhan kompetensi yang dimilikinya dalam kegiatan kesehariannya sebagai pendidik. Salah  satu contohnya adalah kemampuan  didalam mengantarkan materi pelajaran dengan cara-cara yang kreatif, inovatif dan produktif serta menyenangkan bagi siswa. 

Guru yang  profesional akan selalu berupaya agar kegiatan mengajarnya senantiasa menggunakan pendekatan, model serta metode pembelajaran yang mendorong para siswa agar dapat dengan mudah mencapai tujuan-tujuan pembelajaran serta tujuan-tujuan pendidikan sebagaimana telah digariskan. Dengan kata lain, guru yang profesional  akan berupaya agar kegiatan pembelajaran yang diampunya senantiasa terpusat kepada siswa - bukan kepada guru - misalnya dengan menggunakan metode diskusi,  pembelajaran berbasis masalah,  pembelajaran berbasis proyek dan lain-lain, serta berorientasi kepada hasil, yaitu berupa perubahan pengetahuan, keterampilan serta sikap pada anak didiknya.

Bagaimana dengan fakta yang ada di lapangan?

Berdasarkan temuan penulis selama melakukan supervisi kelas ke beberapa sekolah, dalam hal ini SMK,  masih banyak  guru yang melakukan tugas mengajarnya dengan menggunakan cara-cara lama (guru mengajar dan murid memperhatikan guru mengajar).  

Metode yang digunakan pada umumnya adalah ceramah. Sekalipun menggunakan media, misalnya media elektronik berupa LCD projector dan power point, kesannya tetap kegiatan pembelajaran masih terpusat kepada guru, karena pada saat kegiatan pembelajaran terjadi,  guru asyik menerangkan isi power point,  sementara para siswa asyik memperhatikan tayangan power point  tersebut, sehingga hampir sama sekali tidak ada kegiatan yang mendorong para siswa untuk secara aktif mencari sendiri pengetahuan dari sumber-sumber lain selain tayangan yang diberikan oleh guru, tidak ada kesempatan bagi siswa untuk saling berinteraksi, tidak ada kesempatan bagi siswa untuk menganilisis, mensistesis dan mengevaluasi materi pembelajaran yang sedang dipelajari, dan akhirnya, tidak ada kesempatan bagi para siswa untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan dari kegiatan belajar yang diikutinya selain dari sekedar menerimanya dari guru.  

Oleh karena tidak  adanya  fasilitas  yang diberikan oleh guru kepada siswa untuk belajar dengan cara-cara yang kreatif,  mandiri, inovatif,  dan kritis, maka para siswa menjadi terbiasa pasif,  hanya sekedar menerima, malu bertanya dan berpendapat, serta jauh dari kebiasaan kreatif apalagi inovatif dan produktif,  padahal sebenarnya banyak  sekali sumber-sumber yang ada di dalam dan di lingkungan sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong kegiatan pembelajaran seperti penulis sebutkan di atas. 

Sebagai contoh,  adalah sangat mungkin bagi guru Bahasa Inggris untuk membelajarkan  para siswanya dengan memanfaatkan kantin, halaman  sekolah, dan lain-lain dalam hal penguasaan kosa kata atau ungkapan-ungkapan tertentu, misalnya menanyakan sesuatu dan menjawab suatu  pertanyaan. Contoh lain, adalah sangat mungkin bagi seorang guru fisika untuk membelajarkan para siswanya dalam hal menghitung  debit air dengan menggunakan  selokan di sekitar sekolah,  dengan menggunakan peralatan yang sederhana seperti bola pingpong, pita ukur atau penggaris, tali rafia dan jam tangan.

Apa penyebabnya?

Menurut pendapat penulis,  ada banyak faktor yang menyebabkan terpakunya guru pada pola-pola lama mengajar, empat diantaranya adalah  sebagai berikut: 

Pertama adalah masih kurangnya  pengetahuan dan keterampilan guru dalam hal macam ragam pendekatan, model dan metode pembelajaran. Penyebab dari faktor pertama ini mungkin karena rekrutmen guru yang salah, di mana guru yang direkrut tidak memiliki latar belakang pendidikan ilmu kependidikan, atau berlatar belakang pendidikan ilmu kependidikan tetapi ketika memperoleh pendidikan ilmu-ilmu yang diperolehnya hanya sebatas teori.  

Kedua adalah lemahnya supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah dan pengawas pembina kepada guru-guru. Fakta ini penulis peroleh dari pengakuan guru-guru yang di supervisi dan bukti tidak adanya buku supervisi kelas  - pada beberapa sekolah - yang semestinya dimiliki oleh  setiap sekolah. Akibatnya, sekalipun mereka memiliki kemampuan untuk mengajar dengan pendekatan yang lebih menarik, tetapi karena merasa tidak mendapat perhatian, mereka akan lebih senang menggunakan metode konvensional, yaitu ceramah. 

Ketiga adalah karena kurangnya upaya dan fasilitas dari pimpinan sekolah untuk mendorong agar guru-guru dapat belajar serta berlatih untuk menjadi guru yang lebih baik, misalnya dengan menyediakan waktu khusus secara rutin agar guru-guru melakukan kegiatan peer teaching. 

Keempat adalah rendahnya motivasi dan tanggung-jawab mereka sebagai guru karena latar belakang mereka menjadi guru bukan atas dasar panggilan jiwa melainkan karena terpaksa – misalnya oleh karena tidak ada lapangan pekerjaan lain yang bersedia menampungnya - dengan kata lain, motif mereka untuk menjadi guru semata-mata karena latar belakang ekonomi, sehingga kegiatan mengajar yang mereka lakukanpun hanya sebatas melaksanakan tugas dan menyelesaikan target silabus, tanpa berfikir apakah kegiatan mengajar yang dilakukannya benar-benar telah memfasilitasi potensi anak didiknya untuk berkembang  secara maksimal.

Apa yang dapat dilakukan?

Ibarat nasi sudah menjadi bubur, bagaimanapun kondisinya, seseorang  yang sudah terlanjur mengabdikan dirinya untuk mengajar pada sebuah sekolah, maka predikat yang melekat pada dirinya akan tetap sebagai ‘guru’.  Oleh karena itu, yang paling penting bagi para pimpinan sekolah adalah adanya niatan yang sungguh-sungguh untuk secara terus menerus meningkatkan layanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah yang dipimpinnya, dalam hal ini dengan secara terus menerus meningkatkan kompetensi guru di sekolah tersebut. Menurut hemat penulis,  ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh para kepala sekolah untuk meningkatkan profesionalitas guru di sekolahnya masing-masing, diantaranya:

Pertama, sebagai seorang pemimpin pembelajaran sudah selayaknya seorang kepala sekolah mendorong terwujudnya organisasi sekolah yang dipimpinnya untuk menjadi organisasi pembelajar (learning organization), diantaranya dengan mengaktifkan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) internal  sekolah, melakukan kegiatan peer teaching secara rutin serta melaksanakan kegiatan in house training (IHT) khusus untuk memperdalam praktik-praktik metode pembelajaran, dengan mendatangkan nara sumber yang kompeten dan dengan memanfaatkan guru model.

Kedua, meningkatkan intensitas dan mutu supervisi kelas, baik yang dilakukan oleh kepala sekolah maupun oleh pengawas pembina, yang ditindak-lanjuti dengan bimbingan khusus bagi guru-guru yang menunjukan ciri-ciri kurang kompeten – misalnya dengan menunjukan contoh cara mengajar dengan pendekatan tertentu - serta memanfaatkan guru-guru yang menunjukan ciri-ciri yang kompeten untuk bertindak sebagai guru model pada kegiataan peer teaching atau asah terampil mengajar. 

Ketiga, mendorong semua guru pada semua mata pelajaran untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh MGMP, baik pada tingkat sekolah, Kabupaten, Wilayah maupun Provinsi. Hal ini akan sangat berguna bagi mereka agar mereka dapat saling berbagi pengetahuan, pengalaman serta keterampilan dan wawasan.

Keempat dan tidak kalah penting, adalah adanya upaya untuk menampung masukan dari para siswa tentang kualitas layanan pembelajaran yang dilakukan oleh setiap guru. Masukan tersebut akan sangat berguna bagi kepala sekolah dalam membuat  perencanaan pengembangan sumber daya guru.

Terima kasih.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • TUNTUTAN PROFESIONALITAS VERSUS KEBIASAAN GURU MENGAJAR

Trending Now

Iklan

iklan