Sejumlah Perwakilan Elemen Massa Datangi Kejari Cianjur, Pertanyakan Tindak Lanjut Pelimpahan Berkas Dari Kejati Jabar Terkait Dugaan Tindak Pidana Korupsi Remunerasi RSUD Cianjur
5:06:00 PM
CIANJUR, (KC).- Sejumlah perwakilan beberapa elemen masyarakat, Selasa (26/3/2013) mendatangi kantor Kejaksaan Negeri Cianjur di Jalan Dr. Muwardi by Pass Cianjur. Kedatangan gabungan elemen massa seperti Komunitas Pemuda Cianjur (Kompac), Nahdlatul Institut dan Lembaga Bantuan Hukum Nasional (LBHN) Cianjur itu tidak lain untuk mempertanyakan tindak lanjut dari pelimpahan berkas laporan dugaan tindak pidana korupsi pemberian remunerasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cianjur dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat.
Sekretaris Kompac Cianjur, Asep Zakaria mengatakan, kedatangan Kompac, Nahdlatul Institut dan LBHN Cianjur ke Kejari Cianjur tidak lain untuk melakukan audiensi dengan pihak Kejari Cianjur. Audensi tersebut bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tindak lanjut dari pelimpahan berkas dugaan tindak pidana korupsi pemberian remunerasi RSUD Cianjur dari Kejati Jabar.
"Saat kami ke Kejati Bandung beberapa waktu lalu, pihak Kejati mengatakan jika kasus dugaan korupsi remunerasi RSUD Cianjur telah dilimpahkan ke Kejari Cianjur untuk penanganannya. Makanya kami datang untuk mengetahui sejauh mana penanganan yang telah dilakukan Kejari Cianjur terhadap berkas pelimpahan dari Kejati Jabar itu," kata Asep.
Berdasarkan penjelasan dari pihak Kejati Jabar, alasan dilimpahkan ke Kejari Cianjur karena dugaan kerugian negara atas dugaan tindak pidana korupsi pemberian remunerasi RSUD Cianjur itu dibawah Rp 5 miliar. Sementara Kejati Jabar menangani kasus dugaan tindak pidana korupsi diatas Rp 5 miliar lebih. “Untuk mengetahui kebenaran pelimpahan tersebut, kami langsung audiensi dengan Kejari,” ujarnya.
Menurutnya, peristiwa dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) dana remunerasi itu dicairkan ketika Wakil Bupati Cianjur Suranto menjabat sebagai Direktur Utama RSUD Cianjur. Saat itu telah terbit SK Direktur nomor 455/Kep.04.1/RSUD/2009 tanggal 20 Januari 2009 tentang penetapan remunerasi bagi pejabat dan pengelola pegawai di lingkungan RSUD Cianjur.
"Tapi dalam kenyataanya, SK Kepala Daerah itu tidak sesuai dengan pencairan," tambah Ketua LBHN, Billy Rahmadana didampingi Ketua Nahdlatul Institut, Tibyanul Arifin.
Dia menuturkan, remunerasi berupa insentif bagi pegawai RSUD Cianjur itu diberikan pada Mei sampai bulan November 2009 lalu atau sekitar 6 bulan. Dana yang diambil pun dianggarkan di belanja jasa pelayanan kesehatan. Saat pelaksanaannya, ternyata tanpa persetujuan dari Kepala Daerah sehingga tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
"Oleh karena itu Wakil Bupati ini telah melanggar ketetapan pemerintah. Dia tidak koordinasi terlebih dahulu dengan pimpinan daerah dan sangat bertentangan dengan peraturan pemerintah No 23 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum," jelasnya.
Untuk membuktikan tindakan melawan hukum itu, beberapa elemen masyarakat di Cianjur telah meminta konfirmasi kepada RSUD Cianjur pada 30 Januari silam. Akan tetapi, pihak RSUD tidak menanggapi penyaluran dana remunerasi tersebut. “Karena tidak ada tanggapan, kami melaporkan dugaan korupsi tersebut ke Kejati Jabar,” paparnya.
Diakuinya, pernyataan Wakil Bupati Cianjur Suranto di media massa, yang menyebutkan dasar hukum pencairan remunerasi berdasarkan peraturan daerah nomor 17 tahun 1999 tentang retribusi pelayanan kesehatan yang menyatakan jasa pelaksana dan jasa rumah sakit dan pelaksanaanya tidak diperlu diketahui Bupati Cianjur. Perbub yang mengatur remunerasi saat itu masih dalam proses pembuatan.
“Tentunya pernyataan itu merupakan kebohongan publik, karena ketika itu Suranto baru mengajukan surat kepada Bupati Cianjur, nomor 700/3625-RSUD/2010 tentang pengelolaan penetapan remunerasi tahun anggaran 2009 setelah remunerasi diberikan,” tegasnya.
Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi), Pidsus Kejari Cianjur, Haerdin yang menerima sejumlah perwakilan beberapa organisasi massa itu mengakui bahwa ada limpahan kasus dugaan korupsi remunerasi dari Kejati Jabar ke Kejari Cianjur. Meski begitu, pihaknya mengakui saat ini belum memiliki tahapan-tahapan untuk melakukan penyidikan. “Saat ini kami baru meneliti berkas dan mengkaji kasus tersebut,” tegasnya.
Pihaknya mengaku, jika dalam melakukan penelitian kasus, harus hati-hati. “Sebenarnya kasus korupsi itu mudah dibongkar, tetapi kami harus hati-hati dan teliti. Karena ini menyangkut persoalan yang tidak bisa dianggap sepela," katanya (KC-02)**.
Sekretaris Kompac Cianjur, Asep Zakaria mengatakan, kedatangan Kompac, Nahdlatul Institut dan LBHN Cianjur ke Kejari Cianjur tidak lain untuk melakukan audiensi dengan pihak Kejari Cianjur. Audensi tersebut bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tindak lanjut dari pelimpahan berkas dugaan tindak pidana korupsi pemberian remunerasi RSUD Cianjur dari Kejati Jabar.
"Saat kami ke Kejati Bandung beberapa waktu lalu, pihak Kejati mengatakan jika kasus dugaan korupsi remunerasi RSUD Cianjur telah dilimpahkan ke Kejari Cianjur untuk penanganannya. Makanya kami datang untuk mengetahui sejauh mana penanganan yang telah dilakukan Kejari Cianjur terhadap berkas pelimpahan dari Kejati Jabar itu," kata Asep.
Berdasarkan penjelasan dari pihak Kejati Jabar, alasan dilimpahkan ke Kejari Cianjur karena dugaan kerugian negara atas dugaan tindak pidana korupsi pemberian remunerasi RSUD Cianjur itu dibawah Rp 5 miliar. Sementara Kejati Jabar menangani kasus dugaan tindak pidana korupsi diatas Rp 5 miliar lebih. “Untuk mengetahui kebenaran pelimpahan tersebut, kami langsung audiensi dengan Kejari,” ujarnya.
Menurutnya, peristiwa dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) dana remunerasi itu dicairkan ketika Wakil Bupati Cianjur Suranto menjabat sebagai Direktur Utama RSUD Cianjur. Saat itu telah terbit SK Direktur nomor 455/Kep.04.1/RSUD/2009 tanggal 20 Januari 2009 tentang penetapan remunerasi bagi pejabat dan pengelola pegawai di lingkungan RSUD Cianjur.
"Tapi dalam kenyataanya, SK Kepala Daerah itu tidak sesuai dengan pencairan," tambah Ketua LBHN, Billy Rahmadana didampingi Ketua Nahdlatul Institut, Tibyanul Arifin.
Dia menuturkan, remunerasi berupa insentif bagi pegawai RSUD Cianjur itu diberikan pada Mei sampai bulan November 2009 lalu atau sekitar 6 bulan. Dana yang diambil pun dianggarkan di belanja jasa pelayanan kesehatan. Saat pelaksanaannya, ternyata tanpa persetujuan dari Kepala Daerah sehingga tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
"Oleh karena itu Wakil Bupati ini telah melanggar ketetapan pemerintah. Dia tidak koordinasi terlebih dahulu dengan pimpinan daerah dan sangat bertentangan dengan peraturan pemerintah No 23 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum," jelasnya.
Untuk membuktikan tindakan melawan hukum itu, beberapa elemen masyarakat di Cianjur telah meminta konfirmasi kepada RSUD Cianjur pada 30 Januari silam. Akan tetapi, pihak RSUD tidak menanggapi penyaluran dana remunerasi tersebut. “Karena tidak ada tanggapan, kami melaporkan dugaan korupsi tersebut ke Kejati Jabar,” paparnya.
Diakuinya, pernyataan Wakil Bupati Cianjur Suranto di media massa, yang menyebutkan dasar hukum pencairan remunerasi berdasarkan peraturan daerah nomor 17 tahun 1999 tentang retribusi pelayanan kesehatan yang menyatakan jasa pelaksana dan jasa rumah sakit dan pelaksanaanya tidak diperlu diketahui Bupati Cianjur. Perbub yang mengatur remunerasi saat itu masih dalam proses pembuatan.
“Tentunya pernyataan itu merupakan kebohongan publik, karena ketika itu Suranto baru mengajukan surat kepada Bupati Cianjur, nomor 700/3625-RSUD/2010 tentang pengelolaan penetapan remunerasi tahun anggaran 2009 setelah remunerasi diberikan,” tegasnya.
Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi), Pidsus Kejari Cianjur, Haerdin yang menerima sejumlah perwakilan beberapa organisasi massa itu mengakui bahwa ada limpahan kasus dugaan korupsi remunerasi dari Kejati Jabar ke Kejari Cianjur. Meski begitu, pihaknya mengakui saat ini belum memiliki tahapan-tahapan untuk melakukan penyidikan. “Saat ini kami baru meneliti berkas dan mengkaji kasus tersebut,” tegasnya.
Pihaknya mengaku, jika dalam melakukan penelitian kasus, harus hati-hati. “Sebenarnya kasus korupsi itu mudah dibongkar, tetapi kami harus hati-hati dan teliti. Karena ini menyangkut persoalan yang tidak bisa dianggap sepela," katanya (KC-02)**.