![]() |
Penetapan Bencana Nasional sebenarnya bukan hanya simbol formalitas. Status ini menentukan sejauh mana kekuatan negara dikerahkan dalam penanganan bencana. Dengan status nasional, birokrasi dipangkas, alokasi anggaran ditingkatkan, bantuan internasional dapat diterima secara legal tanpa proses diplomasi panjang, dan lembaga-lembaga negara diperintahkan untuk bekerja dengan prioritas utama. Tanpa status tersebut, penanganan bergantung pada kapasitas daerah dan koordinasi sektoral yang cenderung lebih lambat dan terbatas.
Namun, keputusan penetapan Bencana Nasional seringkali dihadapkan pada pertimbangan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar skala kerusakan. Berdasarkan pola penanganan bencana sebelumnya, termasuk langkah pemerintah pada gempa Cianjur tahun 2022, pertimbangan strategis seperti kelayakan penanganan daerah, kesiapan infrastruktur, stabilitas sosial politik, serta dampak ekonomi jangka panjang turut memengaruhi keputusan.
Perbandingan dengan gempa Cianjur menjadi relevan. Pada bencana tersebut, respon pemerintah terbilang sangat cepat. Bantuan logistik dan penanganan medis datang dalam hitungan hari, tim SAR bergerak masif, dan pembangunan hunian sementara segera diputuskan. Salah satu faktor yang mempercepat respons adalah lokasi Cianjur yang strategis—lebih dekat ke Jakarta dan pusat pemerintahan, lebih mudah dijangkau media, dan memiliki infrastruktur distribusi yang lebih lengkap. Kondisi ini berbeda dengan Aceh dan Sumatera yang sebagian wilayahnya berada di pedalaman, pegunungan, atau pulau terpisah sehingga distribusi logistik memerlukan waktu lebih lama dan biaya lebih besar.
Dari sisi ekonomi, penetapan Bencana Nasional membawa implikasi besar. Pemerintah pusat harus melakukan realokasi anggaran, menghentikan atau menunda proyek tertentu, dan menggeser prioritas belanja ke sektor kemanusiaan dan rekonstruksi. Dalam kondisi ekonomi nasional yang masih dipengaruhi ketidakstabilan global—mulai dari harga pangan, energi, hingga tekanan fiskal—penetapan status nasional berarti negara harus siap mengeluarkan dana dalam skala besar tanpa batasan fiskal daerah.
Di sisi lain, status nasional juga membuka pintu bagi masuknya bantuan internasional secara lebih luas. Aceh memiliki sejarah traumatis sekaligus berharga dalam konteks ini: tsunami 2004 yang memakan ratusan ribu korban justru menjadi titik perubahan besar dalam pembangunan wilayah melalui dukungan global. Namun, membuka keran bantuan luar negeri bukan tanpa dampak. Ada pertimbangan kedaulatan, stabilitas politik, dan persepsi finansial internasional. Investor nasional maupun global sangat sensitif terhadap istilah state of emergency atau national disaster, karena label tersebut dapat memengaruhi kepercayaan pasar terhadap kestabilan negara.
Meski demikian, perlu diingat bahwa ekonomi bukan hanya tentang angka fiskal, tetapi juga tentang manusia. Bencana seperti yang terjadi di Aceh bukan hanya merusak rumah dan fasilitas publik, tetapi juga menghancurkan mata pencaharian: sawah terendam, tambak hancur, pasar berhenti beroperasi, dan rantai pasok pangan lokal terganggu. Dampaknya tidak hanya dirasakan hari ini, tetapi dalam hitungan bulan bahkan tahun ke depan. Jika penanganan lambat, maka biaya pemulihan ekonomi justru akan semakin besar.
Di tengah situasi ini, masyarakat Aceh dan Sumatera tidak sekadar menunggu status atau peraturan. Mereka menunggu kehadiran negara dalam bentuk nyata—bukan hanya pernyataan empati di televisi atau unggahan pejabat di media sosial. Mereka membutuhkan kepastian keselamatan, dukungan pemulihan, dan rencana jangka panjang agar kehidupan bisa kembali berjalan.
Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar apakah Aceh dan Sumatera membutuhkan status Bencana Nasional, tetapi berapa banyak lagi korban dan kerusakan yang harus terjadi sebelum status itu diberikan?
Negara seharusnya hadir bukan ketika angka statistik mencapai batas tertentu, tetapi ketika rakyat mulai kehilangan harapan.
Penulis : Asep Moh. Muhsin ( Relawan Sinergi Cinta Umat)


Comments0
Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.