Iklan

iklan

MENJADI GURU KONSTRUKTIFIS SEBAGAI WUJUD KESIAPAN DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN KURIKULUM 2013

Monday, June 30, 2014 | 10:51:00 AM WIB Last Updated 2014-06-30T03:51:03Z
Dalam teori pendidikan dikenal sebuah teori yang disebut dengan teori konstruktivisme.  Konstruktivisme itu sendiri tiada lain merupakan sebuah teori  tentang bagaimana seseorang belajar. Berdasarkan teori tersebut, seseorang mengkonstruksi sendiri pemahaman dan pengetahuan, melalui pengalaman yang diperolehnya, serta merefleksikan pemahaman dan pengetahuan itu  terhadap pengalaman-pengalaman tersebut. Sebagai contoh, ketika seseorang  menghadapi sesuatu yang baru, maka orang tersebut harus menyesuaikan hal-hal baru tersebut dengan ide-ide dan pengalaman lamanya. Kemungkinannya adalah, bahwa orang tersebut akan mengubah keyakinan lamanya karena ia yakin akan hal baru tersebut atau bahkan membuang  informasi baru tersebut karena dianggapnya tidak sesuai.  Dengan demikian, sesorang yang bertindak sebagai pembelajar merupakan kreator aktif dari pengetahuannya sendiri. Untuk dapat dikategorikan sebagai kegiatan pembelajaran berbasis konstruktivisme, maka pembelajar  - ketika ia  belajar - harus aktif bertanya, aktif melakukan eksplorasi serta aktif merefleksikan apa-apa yang diperolehnya dengan apa-apa yang diketahuinya.
Apabila teori tersebut di atas dikaitkan dengan kehadiran kurikulum 2013, maka, adalah sebuah keniscayaan bagi semua guru untuk menjadi guru konstruktifis. Kita ketahui bersama bahwa pendekatan pembelajaran pada kurikulum 2013 adalah scientific learning, yaitu pembelajaran yang lebih mengutamakan peserta didik untuk secara aktif mengamati sesuatu, aktif mencari tahu tentang sesuatu, aktif menalar, aktif melakukan sesuatu dan berani mencoba serta berani mengkomunikasikan hasil-hasil kegiatan belajarnya. Selain itu, segala sesuatu yang dipelajari oleh peserta didik haruslah sesuatu yang bernar-benar terkait erat dengan kehidupan mereka sehari-hari, dengan kata lain, harus bermakna. Oleh karena itu, guru pada era kurikulum baru ini harus menjadi guru yang mampu memfasilitasi para siswa untuk menjadi peserta didik yang konstruktifis, yaitu peserta didik yang dengan kegiatan belajarnya mereka mampu menghasilkan sesuatu – berupa ilmu pengetahuan, sikap serta keterampilan -  yang dapat dijadikannya sebagai senjata untuk memecahkan berbagai  permasalahan hidup yang kelak akan dihadapinya.


Terkait dengan paparan di atas, bagaimana seharusnya guru mengajar?
Untuk menjadi guru konstruktifis, maka hal yang pertama harus diubah adalah pola fikir guru itu sendiri. Guru pada era kurikulum 2013 dituntut untuk memiliki kesadaran yang tinggi bahwa ia bukan satu-satunya sumber belajar bagi para siswanya, bahwa tugas guru adalah sebagai fasilitator bagi para siswa untuk belajar – dengan demikian, kegiatan pembelajaran lebih terpusat pada aktifitas siswa, bahwa belajar dapat berlangsung di mana saja, bahwa semua orang dapat menjadi sumber informasi untuk belajar, bahwa semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan belajar, bahwa kegiatan pembelajaran itu harus kreatif, inovatif serta menyenangkan .
Banyak model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru untuk mengantarkan peserta didik agar menjadi pembelajar konstruktif, diantaranya dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning),  pembelajaran berbasis projek (project based learning), dan pembelajaran berbasis penemuan (discovery learning).
Barrows (Barrett, 2005) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah: “The learning that results from the process of working towards the understanding of a resolution of a problem”, yang artinya kurang lebih, PBL merupakan sebuah model pembelajaran yang mengedepankan upaya untuk memahami sebuah pemecahan terhadap sebuah permasalahan. Dengan demikian, menurut model pembelajaran tersebut seorang guru – dalam memfasilitasi para siswanya untuk belajar – terlebih dahulu menentukan topik untuk dipelajari dan topik tersebut dikemas dalam bentuk permasalahan, untuk kemudian permasalahan tersebut dicarikan pemecahannya melalui aktifitas kelompok. Barrett (2005) menyatakan bahwa: “Problems are not always how to do something immediately practical in professional practice. Problems can also be about how to understand something. Problems can be presented to students in a variety of formats including: scenarios, puzzles, diagrams, dialogues, quotations, cartoons, e-mails, posters, poems, physical objects, and video-clips”. Artinya, yang dimaksud masalah dalam PBL bukanlah harus selalu yang terkait dengan upaya untuk melakukan sesuatu secara langsung dan praktis mengenai hal-hal yang berhubungan dengan praktik yang bersifat profesi. Permasalahan yang disajikan kepada para siswa dapat beragam seperti skenario, teka-teki, diagram, dialog, kutipan, kartun, e-mail, poster, puisi, objek-objek fisik atau bahkan video klip.
Selanjutnya, Barrett menyebutkan bahwa pada dasarnya langkah-langkah kegiatan pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:
  1. Langkah pertama, para siswa dihadapkan dengan sebuah permasalahan,Langkah kedua, para siswa mendiskusikan masalah tersebut dalam kelompok kecil tutorial PBL. Mereka mengklarifikasi fakta-fakta dari kasus tersebut. Mereka mendefinisikan apa sebenarnya masalah tersebut. Mereka melakukan penggalian ide-ide berdasarkan pengetahuan terdahulu yang dimilikinya. Mereka mengidentifikasi apa-apa yang mereka butuhkan untuk mengatasi permasalahan tersebut dan apa-apa yang mereka tidak ketahui (isu-isu belajar). Mereka berargumentasi sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Mereka merinci sebuah rencana tindakan untuk memecahkan permasalahan tersebut.
  2. Langkah ketiga, para siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran mandiri untuk mencari jawaban atas permasalahan sebagaimana disajikan, di luar tutorial. Adapun sumber-sumber informasi yang disediakan untuk mereka dapat berupa perpustakaan, data base, internet atau sumber daya manusia.
  3. Langkah keempat, mereka kembali ke dalam kelas PBL (tutorial) untuk berbagi informasi, melakukan peer teaching dan berdiskusi tentang bagaimana upaya untuk memecahkan permasalahan tersebut.
  4. Langkah kelima, mereka mempresentasikan dan mendiskusikan upaya-upaya yang mereka dapatkan sebagai langkah dalam memecahkan permasalahan sebagaimana telah diajukan pada langkah pertama.
  5. Langkah keenam, mereka meriviu apa-apa yang telah mereka pelajari dari upaya yang telah dilakukannya untuk memecahkan permasalahan yang telah diajukan.
Semua siswa berpartisipasi dalam proses pembelajaran ini, terlibat secara aktif dalam upaya pemecahan masalah, serta ikut serta dalam melakukan riviu. Dengan kata lain, semua orang berkontribusi dalam proses pembelajaran, sejak awal sampai akhir.
Melalui pembelajaran tersebut, sangat banyak karakter yang dapat terbangun seperti kerja-sama, tanggung-jawab, ketelitian, sifat selalu ingin tahu, jujur, percaya diri, rajin/tekun, dan lain-lain.
 Model pembelajaran berikutnya adalah model pembelajaran berbasis projek. Adderley dalam Helle, Tynjala dan Olkinuora (2006) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pembelajaran berbasis projek adalah:
  1. Pembelajaran yang meliputi pemecahan terhadap permasalahan, yang seringkali – walaupun tidak selalu – permasalahan tersebut ditentukan oleh para siswa.
  2. Kegiatan pembelajaran yang melibatkan inisiatif pemecahan masalah yang dilakukan oleh para siswa atau kelompok siswa melalui berbagai aktifitas pembelajaran.
  3. Kegiatan pembelajaran yang menghasilkan produk, misalnya tesis, laporan, desain perencanaan, program komputer, model, dan lain-lain.
  4. Kegiatan biasanya berlangsung dalam tempo yang cukup panjang.
  5. Guru biasanya lebih berperan sebagai advisor daripada sebagai pengajar, yang terlibat pada tehap-tahap kegiatan tertentu atau keseluruhan tahap kegiatan – seperti menginisiasi, mengatur  kelancaran kegiatan dan pembuatan kesimpulan.
Dengan demikian, kegiatan pembelajaran berbasis projek pada dasarnya merupakan kegiatan  yang ditujukan untuk menghasilkan produk tertentu, bisa dalam bentuk tulisan, atau karya tertentu seperti program komputer, karya seni dan lain-lain. Topik dari projek yang akan dilaksanakan pada dasarnya dapat diusulkan oleh peserta didik, oleh guru atau merupakan ide bersama antara peserta didik dan guru.
Kegiatan projek ini akan sangat bermanfaat bagi peserta didik dalam melatih dirinya untuk memiliki sikap kreatif, inovatif, tekun, bertanggung-jawab, jujur, demokratis mandiri serta bertanggung-jawab, yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan era global.
Model pembelajaran selanjutnya adalah discovery learning atau pembelajaran berbasis penemuan. Menilik katanya saja kita dapat menyimpulkan bahwa discovery learning merupakan model pembelajaran yang diorientasikan pada upaya untuk mendorong peserta didik agar dengan aktifitas pembelajarannya mereka mampu menemukan sesuatu berupa konsep, teori atau prosedur. Menurut Bruner, discovery learning merupakan sebuah teori pembelajaran yang dikemukakan oleh para konstruktivis dan berbasis pada penyelidikan (inquiry), serta dilakukan pada situasi pemecahan permasalahan, dimana pembelajar menggunakan pengalaman lamanya serta pengetahuan yang dimilikinya untuk menemukan fakta dan keterkaitannya serta kebenaran baru untuk dipelajarinya. Para siswa berinteraksi dengan dunia dengan cara mengeksplorasi dan memanipulasi objek-objek, menyelidikinya dengan pertanyaan-pertanyaan serta hal-hal yang bersifat kontroversi, atau bahkan dengan melakukan sebuah percobaan. Hasilnya, para siswa akan lebih mengingat konsep yang ditemukannya sendiri. Beberapa model yang tergolong discovery learning diantaranya adalah penemuan dengan bimbingan (guided discovery), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran berbasis simulasi (simulation based learning), pembelajaran berbasis kasus (case based learning),  dan pembelajaran insidental (incidental learning).
Menurut para pendukungnya, model pembelajaran berbasis penemuan ini memiliki beberapa keuntungan, diantaranya: Dapat mendorong para siswa untuk terlibat secara aktif, meningkatkan motivasi peserta didik, meningkatkan kemandirian dan tanggung-jawab peserta didik, meningkatkan kreatifitas dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah, merupakan pengalaman belajar yang dapat mengkonstruksi pengetahuan, sikap dan keterampilan (tailored learning).
Selamat mencoba!!!
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • MENJADI GURU KONSTRUKTIFIS SEBAGAI WUJUD KESIAPAN DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN KURIKULUM 2013

Trending Now

Iklan

iklan