Iklan

iklan

Toleransi itu... Seni Menjaga Lidah

Monday, January 30, 2017 | 11:18:00 AM WIB Last Updated 2017-02-04T14:55:20Z
Toleransi itu... Seni Menjaga Lidah
Oleh : Nuraeni
Pengawas SMP Kabupaten Cianjur
Hari kemarin, bagaimanapun baik atau buruknya telah berlalu...
Hari ini adalah waktu untuk melihat langit biru yang cerah...
Cahaya matahari berkilauan di sela rerumputan...
Burung berkicau dengan bangga...
Mengajak kita bergabung dalam kegembiraannya...
Seolah menyiratkan bahwa akan selalu ada harapan baik...

Toleransi bukan berada pada konteks verbal (mengucapkan) tetapi justru substansinya adalah menghormati hal-hal esensial (aqidah) pemeluk agama lain. Tidak merecoki urusan aqidah orang lain, itu yang tak akan menimbulkan konflik.
Respek bukan karena kesamaan ras, suku, dan agama, tetapi karena adanya perilaku yang dapat diterima oleh nilai-nilai: kebersamaan, kepedulian, dan saling menghargai.
Sejak dulu di antara kita telah terdapat pengertian yang mendalam tentang artinya toleransi. Aqidah yang berbeda. Saya pun demikian berada dalam aqidah muslim yang tak ditawar oleh kekariban antar kita. Begitupun keyakinan seseorang tidak dapat ditawar dengan persahabatan ini. Pertemanan kita memang tak tergerus oleh fanatisme, dan rasa fundamentalis atas keyakinan kita masing-masing, bahkan tidak tergoyahkan oleh maraknya isu nasional mengenai kekhawatiran lunturnya kebhinekaan.
Profesi guru tampak sederhana dan ringan apabila hanya dilihat dalam tataran “sebatas pengajar” yang mengalihkan pengetahuan (transfer of knowledge). Tetapi tugas guru sebenarnya sangat berat, karena kewajiban utama seorang guru adalah "transfer of values" menjaga, mewariskan nilai-nilai (norma, etika, moralitas), dan memberikan keteladanan untuk terciptanya peradaban. Guru merupakan garda terdepan dalam "character building good citizenship" yaitu membentuk (transformasi) warga negara yang baik, bertanggung jawab bagi dirinya, lingkungan, dan bangsanya.
Guru adalah sebagai pengalih pengetahuan, pemelihara nilai-nilai, dan pelaku transformasi perilaku/karakter. Di sekolah lah anak cucu kita akan mengetahui seperti apa dan bagaimana toleransi itu ada. Saya selalu mengatakan kepada cucu: orang akan disukai, dihargai bukan karena persamaan ras, agama, dan budaya, tetapi berdasarkan karakternya (positif) yang ada dalam dirinya. Dan sebaliknya; orang tidak disukai bukan karena ras, suku, agama, dan budaya, tetapi lebih dikarenakan perilakunya yang tidak peduli lingkungan, dan mengingkari nilai-nilai humanisme. Akan tetapi, memang, kadang-kadang, sering hal-hal seperti itu oleh pihak-pihak tertentu mengenai perbedaan ras, suku, agama, dan budaya dipelintir untuk mendapatkan persepsi yang bias sehingga muncul kebencian, dan menuai konflik.
Di tempat kerja baru, saya berteman karib dengan seorang Nasrani, dan berlainan suku. Guru binaan saya ini adalah seorang Nasrani taat. Sebagai seorang guru beliau dapat merepresentasikan dirinya sebagai seseorang yang mampu untuk diteladani, meskipun di lingkungan sekolah tersebut merupakan kantong religius (Islam), yang bertolak belakang dengan imannya. Teman saya ini mampu untuk beradaptasi dengan lingkungannya, baik dengan komite sekolah, kepala sekolah, peserta didik, maupun dengan teman-teman guru lainnya. Ini disebabkan nilai-nilai yang ditampilkan sebagai nasrani, tidak bersinggungan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat.
Berpuluh tahun mengabdi menjadi guru, orang tua murid tidak pernah komplain karena perbedaan suku, dan kenasraniannya. Prestasi sekolah selama beliau menjadi pembimbing dalam kegiatan ekstrakurikuler Matematika sangat luar biasa hebatnya, hal ini diakui juga oleh sekolah tentang dedikasinya.
Nilai-nilai humanisme secara universal adalah sama dalam setiap ras, suku, agama, maupun budaya yaitu yang memegang teguh nilai-nilai, norma bagaimana kita bersikap untuk dapat bekerja sama, tidak saling menyakiti, tidak merendahkan orang lain, dan saling peduli antar sesama.
Bangsa kita dibangun atas perbedaan, pemuda-pemudi se-Nusantara dari kalangan santri, rohaniawan, abangan, aliran kepercayaan, bahkan mungkin ada yang belum menentukan apa kepercayaannya, tapi percaya tuhan begitu saja (semacam agnostik), dan tahun 1928 mereka, para pemuda, sudah mempunyai kesamaan tekad yang bulat.  Para pemuda mempunyai persepsi yang sama: Indonesia adalah keberagaman. Berbeda adalah keniscayaan, sunatullah, dan harus diterima dengan tanpa persyaratan apa pun. Toleransi kita kesamaan pandangan antara manusia yang saling menghargai dan menghormati.
Seperti halnya temanku yang di NTT, Papua, Maluku, Manado, Makassar, dan Ambon. Kenapa pada bulan Desember 2016 lalu saat perayaan Natal saya tidak mengucapkan apa-apa pada Kalian, sebab kalian sudah sangat paham bahwa ini adalah bagian daripada toleransi itu. Kita paham bahwa toleransi kita sudah dalam makna yang sama, yaitu perbedaan.
Text Box: Nuraeni, Lahir di Bandung, 08 Oktober 1961. Pendidikan S2. Pengalaman Kerja: Guru 1985-2008, Kepala SMP 2008-2011, Pengawas SMP 2012-sekarang di Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. 2017 menulis buku antologi bersama guru: Bukan Guru Biasa. WA 0857-1965-3333, https://nuraenipastibisa.wordpress.com; http://nuraeni.guru/wp-admin/post, facebook: nuraeni pasti bisa, email:  nuraenipastibisa@gmail.com










Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Toleransi itu... Seni Menjaga Lidah

Trending Now

Iklan

iklan