BSY0BSWiGSMpTpz9TUAoGfC7BY==

Ketika Arsul Sani Membuka Ijazahnya, Publik Bertanya: Mengapa Jokowi Tidak Melakukan Hal yang Sama?


Isu keaslian ijazah sering kali muncul ketika seorang tokoh publik berada dalam sorotan. Namun, respons terhadap tuduhan itu justru menentukan bagaimana publik menilai integritas seseorang. Dalam beberapa hari terakhir, kasus yang menimpa Hakim MK Arsul Sani menjadi contoh menarik tentang bagaimana transparansi dapat menjadi alat meredam polemik.

Tudingan bahwa Arsul Sani menggunakan ijazah palsu untuk memenuhi syarat sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi sontak memicu perhatian publik. Namun yang menarik, Arsul justru merespons dengan cara yang terbilang terbuka dan lugas. Ia menunjukkan ijazah asli, dokumen legal, disertasi, hingga foto-foto wisuda yang memverifikasi keberadaannya sebagai lulusan sebuah universitas di Polandia.

Langkah ini mencerminkan sikap defensif yang sehat: menghadapi tuduhan bukan dengan retorika, tetapi dengan bukti. Tindakan Arsul dalam konteks ini dianggap “gentle”—sebuah transparansi yang menenangkan dan menunjukkan rasa hormat kepada publik, terlepas dari apakah publik berhak atau tidak berhak untuk mempertanyakannya.

Di era ketika kepercayaan publik terhadap lembaga semakin tergerus, respons seperti ini memiliki nilai moral yang sangat tinggi.

Kontras yang muncul justru terlihat pada kasus serupa yang menghampiri Mantan  Presiden Joko Widodo. Selama bertahun-tahun, isu mengenai keaslian ijazah Jokowi terus muncul, silih berganti. Berbagai klarifikasi telah diberikan pihaknya—melalui juru bicara, melalui proses hukum, dan melalui institusi kampus yang menyatakan bahwa Jokowi memang lulusan sah.

Namun satu hal yang tidak pernah dilakukan adalah: menunjukkan ijazah asli secara langsung kepada publik, sebagaimana yang dilakukan Arsul Sani.

Tentu, Jokowi memiliki hak untuk tidak membuka dokumen pribadinya kepada publik. Bahkan tim hukumnya pernah menegaskan bahwa menunjukkan ijazah asli tidak relevan karena masalahnya dianggap bukan pada dokumen, melainkan pada motif politik dari para penuduh. Pendekatan ini sah secara hukum.

Namun secara persepsi publik, sikap tertutup itu menjadi ruang subur bagi spekulasi. Dalam komunikasi politik, yang menentukan bukan hanya apa yang benar, tetapi apa yang dirasakan publik sebagai benar.

Dalam membandingkan dua peristiwa ini, sebenarnya tidak adil jika menilai siapa yang salah atau benar tanpa proses hukum. Namun dari sudut pandang komunikasi publik, perbedaan sikap ini membuka ruang analisis yang menarik.

  • Arsul Sani memilih jalur keterbukaan penuh. Implikasinya: publik lebih cepat tenang, tuduhan lebih mudah dipatahkan, dan integritas pribadi terasa lebih kokoh.

  • Jokowi memilih jalur formal dan legal. Implikasinya: isu terus muncul, publik terus bertanya, dan opini liar terus beredar.

Apakah Jokowi salah? Tidak serta merta. Tetapi apakah langkahnya efektif meredam isu? Juga tidak.

Ini bukan soal benar atau tidaknya dokumen, tetapi soal strategi transparansi.

Sering kali citra Jokowi dinilai sebagai sosok yang sederhana, merakyat, dan “gentle” secara sosial—pendekatan yang ramah dan santai. Namun dalam konteks polemik ijazah, “gentle” dalam kacamata publik bukan sekadar sikap, melainkan tindakan berani memperlihatkan kebenaran secara langsung.

Arsul Sani menunjukkan versi “gentle” yang berbeda: santun sekaligus tegas, dan berani membuka semua dokumen kepada publik. Ia menunjukkan bahwa transparansi adalah senjata terbaik melawan hoaks dan tuduhan.

Perbandingan ini membuat publik bertanya-tanya:
Mengapa seorang hakim MK bisa begitu terbuka, sementara seorang mantan presiden justru memilih untuk tetap tertutup?

Pertanyaan ini tidak menyentuh benar atau salah, tetapi bicara soal konsistensi moral dan strategi komunikasi.

Fenomena ini membawa sejumlah dampak penting:

Setiap tokoh publik kini akan dihadapkan pada standar baru: “Jika Arsul Sani bisa membuka ijazahnya, mengapa yang lain tidak?”
Ini bisa menjadi preseden dalam budaya politik Indonesia.

Dalam masyarakat digital, kecurigaan tumbuh lebih cepat daripada klarifikasi formal. Jika sebuah isu dibiarkan tanpa bukti visual, sebagian publik akan terus mempertanyakannya.

Kasus seperti ini sering digunakan oleh berbagai kubu politik untuk menyerang atau membela tokoh tertentu. Ketika transparansi tidak diberikan, politisasi akan terus berputar.

Jika tokoh yang berada dalam posisi tinggi tidak menunjukkan keterbukaan, publik akan meragukan lembaga yang mengesahkan ijazah tersebut, mulai dari kampus hingga institusi negara.

Pada akhirnya, opini ini bukan tentang memvonis siapa yang benar atau salah, tetapi tentang gaya merespons tuduhan. Arsul Sani memilih jalan terang. Jokowi memilih jalur hukum. Keduanya sah, tetapi tidak memiliki dampak publik yang sama.

Di mata publik, kebenaran yang terlihat selalu terasa lebih kuat daripada kebenaran yang hanya diberitakan.

Dan mungkin di dunia yang semakin skeptis ini, menjadi gentle bukan hanya soal sikap… tetapi soal keberanian untuk terbuka. [ Penulis : Asep Moh. Muhsin]

Comments0

Terima Kasih atas saran, masukan, dan komentar anda.

Type above and press Enter to search.